Langsung ke konten utama

2018

"Hai, apa kabar?", tanya wanita yang berumur sekisar 40-an. Ansha yang merasa dirinya terpanggil pun menoleh dengan tatapan yang sulit di jelaskan. Perasaan itu kembali muncul, rasa penasaran, benci, dan sedih menjadi satu. 


Ia menghela nafas dengan kasar, "Baik.", mencoba terlihat baik-baik saja. Wanita itu kembali bertanya, "Bagaimana dengan ayahmu?". Seketika aku mematung, amarahku sudah tidak bisa kubendung. 


Dengan berani aku menatapnya, "Apa urusannya dengan Anda? Apa Anda sudah puas melakukan semua itu? Kemana Anda selama ini? Sial sekali aku bisa bertemumu lagi.", jawabku dengan menggebu-gebu. 


Ahh Tuhan, jika aku bisa memilih, lebih baik kita tidak bertemu dengan dia baik di masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Segalanya benar-benar hancur ketika datang dan aku tidak tahu harus bagaimana. Meskipun aku berhasil mengutarakan amarahku, itu tidak akan membuat 'Dia' kembali. 


Aku mendengar suara tangisan, wanita itu berulang kali mengucapkan maaf, begitu pula anak-anaknya. Aku benar-benar tidak suka ketika dia minta maaf. "Maaf, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya merasa bersalah kepada keluargamu, terutama ayahmu.", katanya dengan tersedu-sedu. 


Lantas aku tertawa. Begitu lucu bukan perkataannya? Apa yang dia bilang? Tidak bermaksud? Bodoh sekali. 


"Apa Anda tahu betapa susahnya kita saat Anda pergi tanpa pamit? Anda benar-benar bodoh ya? Mengapa Anda mengincar uang 'Dia' padahal jelas-jelas Anda lebih mampu darinya. Anda bilang tidak bermaksud? Dipikir saya bodoh? Tidak bermaksud tapi bisa meninggalkannya dengan tidak bisa dihubungi, bahkan Anda niat pindah rumah. Bukankah itu jelas sudah di rencanakan?", jawabku dengan menggebu-gebu. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan ucapannya. 


Mendengar tangisannya yang semakin kencang, aku merasa muak. "Dia sudah pergi, Anda tidak perlu mencarinya. Tentu saja dia pergi karena Anda. Saya harap Anda tetap dan selalu merasa bersalah. Saya pamit."


Dibawah terangnya lampu kota Jakarta, Ansha pergi meninggalkan mereka yang masih menangis sembari tetap mengucapkan kata maaf kepada Ansha. Tetapi, Ansha tidak peduli. Seketika kenangan-kenangan di tahun itu muncul. Berharap kali ini sudah selesai. Baginya dan bagi 'Dia'. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

dia benar

Aku pernah menceritakan apa alasanku mengapa aku tidak pernah memberi janji atau mengatakan hal hal yang berada dalam pasti dan tidak pasti. Sialnya, dia benar.  Jawabannya benar dan membuatku tak bisa berkutik apalagi mengelak. Dia bilang bahwa aku terlalu takut untuk mencoba, karena itu aku takut apa yang akan terjadi di masa depan. Iya dia benar.  Bahkan untuk mencoba aku harus berfikir keras dan melihat apakah ada hal itu pernah terjadi di masa lalu.

DUKA

Kususuri jalan setapak penuh dengan duri ini dengan perasaan yang bergundah hati, dan angin seolah-olah berbicara, bahwa duka-Nya menunggumu  di ujung dunia ini.

SEPI

Pada kesendirian ini aku merasa sesak dan sepi. Dimana, dimana semua orang berada? Rasa sepi ini perlahan demi perlahan membunuhku. Menjebakku pada imajinasi yang fana. Aku... Aku... Sudah terjatuh pada lautan dalam Yang memberiku rasa hampa yang luar biasa.