"Hai, apa kabar?", tanya wanita yang berumur sekisar 40-an. Ansha yang merasa dirinya terpanggil pun menoleh dengan tatapan yang sulit di jelaskan. Perasaan itu kembali muncul, rasa penasaran, benci, dan sedih menjadi satu. Ia menghela nafas dengan kasar, "Baik.", mencoba terlihat baik-baik saja. Wanita itu kembali bertanya, "Bagaimana dengan ayahmu?". Seketika aku mematung, amarahku sudah tidak bisa kubendung. Dengan berani aku menatapnya, "Apa urusannya dengan Anda? Apa Anda sudah puas melakukan semua itu? Kemana Anda selama ini? Sial sekali aku bisa bertemumu lagi.", jawabku dengan menggebu-gebu. Ahh Tuhan, jika aku bisa memilih, lebih baik kita tidak bertemu dengan dia baik di masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Segalanya benar-benar hancur ketika datang dan aku tidak tahu harus bagaimana. Meskipun aku berhasil mengutarakan amarahku, itu tidak akan membuat 'Dia' kembali. Aku mendengar suara tangisan, wanita itu berulang kali ...
Aku pernah menceritakan apa alasanku mengapa aku tidak pernah memberi janji atau mengatakan hal hal yang berada dalam pasti dan tidak pasti. Sialnya, dia benar. Jawabannya benar dan membuatku tak bisa berkutik apalagi mengelak. Dia bilang bahwa aku terlalu takut untuk mencoba, karena itu aku takut apa yang akan terjadi di masa depan. Iya dia benar. Bahkan untuk mencoba aku harus berfikir keras dan melihat apakah ada hal itu pernah terjadi di masa lalu.